JANUARI
Karangan: R111999
Teriknya sang surya seperti biasa membuatku terbangun, namun
kenapa burung tidak lagi menyapaku di pagi ini. Ku lihat kalender yang menempel
di dinding. Oh, tidak ini hari yang kutunggu-tunggu, namaku Anita, 7 januari
hari ini usiaku tepat 17 tahun. Apa tidak ada yang mengingatnya? Bahkan tepat
jam 00.00 pun taka da yang memberi kejutan atau apa, bahkan pagi ini burung
enggan menyapaku juga. Bergegas aku keluar kamar berharap ibu akan memberi
selamat.
Kenapa ini gelap sekali, jendela
tidak satupun yang terbuka. Kuamati sekelilingku hanya gelap dan kesunyian, apa
yang sebenarnya terjadi? Apa ini sebuah kejutan?
“Buuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!”
seruku..
Hening.
.
“Buuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,
ini hanya main main bukan?”
Masih
hening juga . .
Aku berjalan ke kamar ibu, dapur, kamar mandi, semua ruangan
hingga gudang. Tapi hasilnya nihil, aku bingung apa yang sebenarnya terjadi?
Apa yang terjadi semalam? Apa yang aku tidak tahu?.
Aku
mencari ponselku lalu mencari kontak ibu,
Tuut..
tuut.. tuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuut..
Tidak bisa dihubungi, lalu aku mencari kontak ayah, dan
hasilnya sama saja tidak bisa dihubungi. Perasaanku semakin tak karuan, apa
yang sebenarnya terjadi? Bergegas aku mendekati pintu keluar berniat kembali mencari
mama, kulihat ada kertas putih tergeletak di lantai sejajar dengan pintu, ku
ingin hiraukan tapi tak lama kemudian akhirnya aku mengambinya juga, ku buka
kertas putih itu, ternyata itu secabik kertas yang isinya dapat mencabik hati
jua.
“Anita
sayang, selamat ulang tahun. Maafkan ibu, tunggu ibu di rumah yaa sayaang. Ibu
pasti pulang!”
Ini
semakin membuatku bingung, kenapa ibu meninggalkanku? Tak lama ponselku
berdering.. bibiku menelepon..
Aku:
hallo!
Bibi:
jangan dulu dimakamkan, tunggu aku akan ke sana!
Tuut..tuuuut..
tuuuuuuuuuuuuuuut..
Teleponnya mati. Siapa yang meninggal, aku harus tahu apa
yang terjadi, pemakaman? Yaa aku ingat
pemakaman keluarga siapa tahu di sana dapat petunjuk. Lalu, aku bergegas ke
pemakaman itu di saa terlihat ramai orang, seperti ada upacara pemakaman. Aku
mendekatinya..
“Anita!”.
Seru ibu..
Tapi
tak sempat ku menjawabnya, mataku terruju pada nisan yang baru saja dipasang di
sana terterara ‘HASAN BIN AHMAD’.
Tak
kuasa aku melihatnya, pipiku dibanjiri air mata pandanganku meredup,
remang-remang, hilang dan mati..
Nyawaku
rasanya belum terkumpul semua, kepalaku pusing sekali, perlahan aku membuka
mataku, ibu.
“buu..
batu nisan itu..”. kataku (kulihat mata ibu yang sangat merah, lebam menahan
tangis. “katakana bu!, katakan! Hiks”. Tambahku diakhiri luapan air mata.
“maafkan
ibu, sayang.. ibu tidak bermaksud..” ibu diam seketika “semalam ayahmu
kecelakaan waktu dia pulang dan berencana membuat kejutan untukmu, semalam ibu
tidak memberitahumu.. maafkan ibu nak, ibu hanya tidak ingin kamu bersedih di
hari spesialmu ini, maafkan ibu”. (ibu memelukku erat, pandanganku meredup
lagi, dan hilang..)
Memang ini bukanlah kenyataan yang mudah untuk diterima.
Diumurku yang genap 17 tahun, aku harus kehilangan sosok tanggu seorang ayah,
melanjutkan hidup tanpa seoang ayah. Tapi, semua ini memberiku pelajaran baru
‘mencintai tidak hanya selalu didekatnya, jika kamu tak mampu lagi doakan agar
dia selalu bahagia’. Aku harus hidup mandiri, ibuku kerja disalahsatu lestoran
di Jakarta. Aku yang menjaga rumah dan sesekali aku menggantikan ibuku kerja
saat hari libur, mungkin ini takdir Tuhan agar aku mampu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar